Minggu, 03 Juli 2011

Hahahahahahahahahahahahhahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahahahahahahahhahaha. . . . . hei bung hentikan guyonanmu yang tidak lucu itu. Saya tidak menangkap sesuatu yang membahagiakan atau menyenangkan dari cerita – cerita orang tua. Agak kurang bersemangat untuk membuat tawa dan bincang palsu hari ini. aku tidak akan meminta maaf atas kelancanganku dan berbahagia aku karenanya.

Ya. Katakan saja saya sebagai orang yang psikis, mempunyai kelainan mental, berbeda atau yang lainnya. Yang sebenarnya tercipta karena efek kejenuhan berantai. Katakan saja saya sebagai seorang jahat dan andalah yang baik. Seperti mitos – mitos yang kakek-nenek moyang kita turunkan tentang iblis-malaikat, anda yang benar dan saya yang salah. Seseorang harus disalahkan bukan?, dan kebetulan saja tipe orang seperti saya yang selalu menang dalam adu dadu.

Tunggu!!, kenapa saya harus ikut merasa bersalah melalui tuduhanmu!,

Oh, maaf, ternyata dasar pikir kita yang memang berbeda. kau menganggapku sebagai orang idiot yang terlalu banyak bermimpi. Dan kembali kita saling memberi penilaian atas aku, kamu, dia, mereka. Tidakkah kamu merasa bodoh?, aihh. . . aku kembali berbicara dengan pikiranku. Ya, mungkin aku yang salah dalam pikiranku tapi aku juga tak mau disalahkan apalgi olehmu. Kenapa?, karena kita memang berbeda. kau mungkin akan membuatnya tampak sama, tapi menurutku itu adalah sesuatu yang lucu dengan caraku. Hahaha, kenapa saya bangga dengan semua kebodohanku?,

Eeeee, tunggu sebentar, kita belum selesai masalah penilaian dan sepertinya kita tidak akan pernah selesai. Mungkin kita membutuhkan sesuatu yang lebih keras dari kepalan kata.

Sabtu, 02 Juli 2011

Fuck

aku lebih suka disebut sebagai si manusia dari pada sebutan yang lain, seperti si pemarah, si jelek, si baik, pengkhianat, penggembira, pemberontak, penyayang atau sebutan lain yang kalian ciptakan, yah... persetan dengan berbagai macam penilaian dan aturan yang kalian ciptakan. Tergantung dengan seberapa peduli aku pada itu. Aku menyarankan untuk menyimpan itu ditempat yang seharusnya. Suatu tempat dimana tidak ada satu manusiapun yang kemudian menjadikan nilai itu sebagai alasan untuk dinyatakan kembali.

kau tau?, tumbuhan dan hewan masing - masing mempunyai mekanisme mempertahankan diri yang berbeda. sayang dalam sifat dan sikap kita bukan seperti satu macam lebah yang sama – sama mempunyai ngengat atau seperti sekumpulan macan bernama manusia yang memiliki taring. Kau bisa saja seekor lebah saya macannya, keduanya atau bukan sama sekali, atau juga dari jenis yang berbeda?. Oh baiklah, itu bukan masalah, bukankah itu semua tergantung pada seberapa besar keadaan mengintimidasimu. haha, kau bercanda, tak mungkin seekor macan memakan madu dan lebah memakan rusa. Tapi bisa saja jika kau memaksakannya lalu menambah nama depanmu dengan Adolf lebah atau Adolf macan.

Oh, oh, tidak, tidak. . . kau pasti tidak mengetahui tanda senyum apa ini. karena aku adalah orang yang licik, oh maaf, maksudku karena aku adalah orang yang “manusiawi”.

Jumat, 24 Juni 2011

Sosiologi Sastra ; habitus; game; konflik

Karya sastra dalam kehidupan sehari – hari ditampilkan dalam berbagai bentuk dan cara. Karya sastra bisa berbentuk lisan atau tulisan, karya sastra pada dasarnya didasarkan pada sebuah realitas yang kemudian diolah menjadi sebuah karya lisan atau tulisan. Ada banyak pandangan dalam melihat karya sastra yang secara teoritik beberapa diantaranya adalah habitus theory, game theory dan conflict theory. Untuk memilih teori apa yang akan di gunakan akan lebih baik dengan memahami terlebih dahulu teori – teori tersebut.

Habitus theory adalah sebuah teori yang berpandangan bahwa realitas dalam masyarakat lebih cenderung pada struktur atau pola kebiasaan kehidupan sehari – hari yang dilakukan oleh masyarakat dan menciptakan kebiasaan baru. Tapi hal itu juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal formal atau juga sakral yang kemudian mendorong individu – individu tersebut(dalam zamannya) untuk ikut bergerak atau berpindah. Dan tentu pergerakan tersebut adalah reaksi tindakan yang berjalan searah atau saling mendukung. Secara singkat teori ini mendasarkan idenya pada kondisi dan lingkunganlah yang membentuk suatu kebiasaan baru. Misalnya kebiasaan berjalan disebelah kiri jalan,makan dengan tangan kanan atau yang lebih umum seperti pola kebiasaan pada masyarakat kota dan desa, teori habitus membaca adanya struktur mekanis yang terjadi antara kota dan desa bukan disebabkan pemberian semata. Tapi dikarenakan medan/lingkungan, pola ekonomi yang berbeda yang mempengaruhi corak interaksi dan dalam berprilaku. Maka gambaran teori habitus Bourdieu dalam karya sastra menghubungkan realitas yang terjadi pada karya sastra dan masyarakat. Pandangan Bourdieu juga memberikan semacam tawaran. Apa yang harus anda lakukan, bagaimana memilih atau menentukan selera, apa yang harusnya anda pikirkan.

Game theory merupakan teori tahap kedua, juga semacam antitesa dari teori sebelumnya, yaitu teori gambar. Inti teori game adalah “tata permainan bahasa”. Hakikat bahasa adalah penggunaanya dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Oleh karena itu banyak permainan bahasa yang sifatnya dinamis, tidak terbatas sesuai dengan konteks kehidupan manusia. Setiap konteks khidupan manusia menggunakan satu bahasa dan aturan yang berbeda, itu adalah nilai. Misanya bahasa yang digunakan ketika memberi perintah, berspekulasi, melaporkan kejadian, membuat lelucon, berterima kasih, memohon, berdoa dan penggunaan bahasa yang lainnya(Wittgenstein, 1983:23). Wittgenstein berkesimpulan bahwa makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam kalimat, makna sebuah kalimat adalah penggunannya dalam bahasa dan makna dari bahasa adalah penggunaanya dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Yang berarti Wittgenstein mengakui dan mengembangkan pruralitas dalam bahasa dalam kehidupan manusia.

Conflict theory, banyak persepsi yang lahir dari teori ini. Karl Marx adalah salah satu yang memberikan sumbangan besar dalam merumuskan teori ini. Teori ini merupakan teori kelanjutan antitesa dari dialektika hegel dalam menjelaskan fenomena sosial yang terjadi dalam struktur fungsionalis. Karl Marx memperluas idenya yang banyak diambil dari perspektif ekonomi tentang kelas – kelas sosial dan pertarungan kepentingan diantaranya yang saling merawat dalam suatu model sistem. Marx lebih mendasarkan idenya pada peubahan – perubahan sosial yang harus dilakukan untuk mencapai kondisi masyarakat yang ideal, yaitu kelas pekerja yang kemudian menentukan sendiri apa yang akan mereka lakukan tetapi tetap dalam suatu lingkar konsep yang bernama negara. Ia banyak berbicara tentang alienasi, eksploitasi, ekspansi ekonomi yang membentuk negara baru, dan tentang peran suatu negara terhadap perubahan – perubahan sosial yang dapat diwujudkan dalam suatu tatanan sistem yang lebih ideal dan adil menurut Marx sendiri.

Pribadi, sejauh pemahaman yang ada saya lebih cenderung pada teori konflik dan teori game. Secara keseluruhan bagaimanapun setiap fenomena sosial dalam karya sastra merupakan hal yang berbeda tergantung pada situasi dan kondisi. Kondisi dan situasi yang berbeda menciptakan aksi dan reaksi yang berbeda pula. Dasar dari karya sastra seperti yang sebelumnya adalah realitas entah kemudian karya sastra tersebut menjadi lebih jauh dari realitas atau semakin mendekati realitas. Masalah mempersempit atau melebih – lebihkan realitas hanyalah nilai yang dibangun oleh beberapa atau sekelompok orang yang kemudian menjadi kultur baru. Tapi disisi lain bukankah kita seharusnya tidak terlalu kaku dalam menanggapi ide – ide perubahan jika benar – benar membutuhkannya. Bagaimanapun setiap individu masyarakat yang berbeda dalam karya sastra masing – masing menghadapi realitas yang berbeda dan tentu saja dengan caranya sendiri – sendiri. Sejauh yang dapat dipahami bahwa realitas yang ada (struktur fungsional) sejak dulu hingga saat ini selalu menghadirkan dua konsep masyarakat yang berbeda, dimana dua tipe masyarakat ini masing – masing memiliki ciri khas dalam karya sastranya. Tak ada struktur baku tunggal yang ideal untuk semua.

Dari teori konflik kita dapat melihat struktur – struktur pemisah yang mendasari unsur – unsur realitas dalam karya sastra, tapi ada relevansi dengan beberapa teori yang dicetuskan wittgeinstein tentang bahasa pruralnya. Setiap teori mempunyai kelemahan dan kelebihan tergantung pada situasi seperti apa yang dihadapi. Teori konflik mengajukan sebuah pendekatan yang terbatas, hanya pada suatu pola yang sudah mapan. Sedangkan teori game pendekatannya terlalu luas sehingga diperlukan banyak perbandingan – perbandingan yang kita tahu sumbernya tidak terbatas.

Sastra kanon sejauh yang kita ketahui identik dengan otoritas tunggal, angkatan tua, dominasi dan anti terhadap perubahan. Seperti yang sebelumnya, yang perlu dipertanyakan kembali sebelum mempertanyakan tentang keberpihakan adalah : apakah benar perlu suatu struktur, aturan, norma yang baku untuk individu – individu masyarakat?. Secara teoritik ketika kesadaran akan hak dan advokasi terjalankan, kesadaran akan suatu perubahan atau ide alternatif akan menyertainya juga. Yang kembali menjadi pertanyaan adalah apakah itu akan terjadi ketika dihadapkan dengan realitas yang majemuk?. Seperti yang dapat kita lihat sepertinya warisan masih menjadi kekuasaan tidak terbatas di beberapa tempat. Sastra kanon dalam beberapa wilayah terus dijaga, tapi dibeberapa wilayah yang lain sastra kanon dihindari.

Di isinya sastra populer oleh kaum muda bisa menjadi indikasi bahwa dalam masyarakat terjadi perubahan sosial. Contoh nyata yang dimaksud dalam perubahan sosial seperti kebebasan dalam mengutarakan pendapat dalam berbagai bentuk karya sastra, kesadaran akan hak individu dalam masyarakat dan inovasi baru yang dapat menjadi sumber perubahan sosial dalam membentuk kultur yang baru.

Ketika sastra pop yang diisi oleh kaum muda ini membentuk suatu kultur baru, maka disinilah kemudian kultur ini dibenturkan dengan kultur – kultur sebelumnya, bukankah pada hakikatnya memang diperlukan konflik, agar menghasilkan suatu kultur baru yang lebih awet dari yang sebelumnya. Perubahan sosial yang dapat terlihat, seperti perubahan selera, pandangan yang lebih terbuka pada berbagai aspek, bahkan perubahan struktur sosial. Apakah ada implikasi perubahan sosial ini terhadap pendidikan bahasa dan sastra?, ya, ada perubahan sosial yang terjadi dikarenakan sastra pop ini bukan hanya membuka penemuan istilah baru dalam penulisan dan lisan tapi kemudian juga harus disesuaikan kaidah kebahasaan pada masanya agar bisa digunakan untuk berinteraksi.